R E V I E W
PERBANDINGAN MADZHAB
A. PENGERTIAN
MADZHAB
Hukum
islam yang prinsip dasarnya tercantum dalam al-Quran dan Hadist telah
berkembang sedemikian luas melalui ijtihad para Mujtahidin dalam upaya
menyelaraskan hukum islam agar tetap relevan dengan kebutuhan zaman. Hasil
pemikiran para Mujtahid itu melahirkan beragam pemikiran yang berkembang
menjadi mazhab/aliran yang memperkaya khazanah pemikiran hukum islam.
Perbandingan
mazhab dalam bahasa arab disebut muqaranah al-mazahib. Kata muqaranah
menurut bahasa, berasal dari kata kerja qarana-yukarinu –muqaranatun yang
mempunyai arti mengumpulkan, membandingkan, dan menghimpun. Berdasarkan makna
lughawi di atas, maka perbandingan mazhab menurut ulama fiqih islam adalah
sebagai berikut: “perbandingan mazhab adalah mengumpulkan pendapat para imam
mujtahid dengan dalil-dalilnya tentang suatu masalah yang diperselisihkan
padanya, kemudian membandingkan dalil-dalil itu satu sama lainnya, agar nampak
setelah dimunaqasyahkan pendapat mana yang terkuat dalilnya.”
Jadi
perbandingan mazhab adalah ilmu pengetahuan yang membahas pendapat-pendapat
fuqaha’ (mujtahidin) beserta dalil-dalilnya mengenai berbagai masalah, baik
yang disepakati, maupun yang diperselisihkan dengan membandingkan dalil
masing-masing yaitu dengan cara mendiskusikan dalil-dalil yang dikemukakan oleh
Mujtahidin untuk menemukan pendapat yang paling kuat dalilnya.
B.
LATAR BELAKANG
MUNCULNYA MADZHAB
Munculnya
madzhab-madzhab fiqih itu lahir dari perkembangan sejarah sendiri, bukan karena
pengaruh hukum romawi sebagaimana yang dituduhkan oleh para orientalis. Munculnya
madzhab dalam sejarah terlihat adanya pemikirah fiqih dari zaman sahabat,
tabi’in hingga muncul madzhab-madzhab fiqih pada periode ini.
Seperti
contoh hukum yang dipertentangkan oleh Umar bin Khattab dengan Ali bin Abi
Thalib ialah masa ‘iddah wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya.
Golongan sahabat berbeda pendapat dan mengikuti salah satu pendapat tersebut,
sehingga munculnya madzhab-madzhab yang dianut. Di samping itu, adanya pengaruh
turun temurun dari ulama-ulama yang hidup sebelumnya tentang timbulnya madzhab,
ada beberapa faktor yang mendorong, diantaranya
1. Karena
semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam sehingga hukum islampun menghadapi
berbagai macam masyarakat yang berbeda-beda tradisinya.
2. Muncunya
ulama-ulama besar pendiri madzhab-madzhab fiqih berusaha menyebarluaskan
pemahamannya dengan mendirikan pusat-pusat studi tentang fiqih, yang diberi
nama Al-Madzhab atau Al-Madrasah yang diterjemahkan oleh bangsa barat menjadi
school, kemudian usaha tersebut dijadikan oleh murid-muridnya.
3. Adanya
kecenderungan masyarakat islam ketika memilih salah satu pendapat dari
ulama-ulama madzhab ketika menghadapi masalah hokum. Sehingga pemerintah (kholifah)
merasa perlu menegakkan hukum Islam dalam pemerintahannya.
4. Permasalahan
politik, perbedaan pendapat di kalangan muslim awal trntang masalah politik
seperti pengangkatan kholifah-kholifah dari suku apa, ikut memberikan saham
bagi munculnya berbagai madzhab hukum islam.
C.
MACAM-MACAM
MADZHAB
1. Madzhab
Hanafi
Madzhab ini didirikan oleh Abu
Hanifah yang nama lengkapnya al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zuthi (80-150 H). Ia
dilahirkan di Kufah, ia lahir pada zaman dinasti Umayyah tepatnya pada zaman kekuasaan
Abdul malik ibn Marwan. Pada awalnya Abu Hanifah adalah seorang pedagang,
atas anjuran al-Syabi ia kemudian menjadi pengembang ilmu. Abu Hanifah belajar
fiqih kepada ulama aliran irak (ra’yu). Imam Abu Hanifah mengajak kepada
kebebasan berfikir dalam memecahkan masalah-masalah baru yang belum terdapat dalam
al-Qur’an dan al-Sunnah. Ia banyak mengandalkan qiyas (analogi) dalam
menentukan hukum.
Pengalaman
keilmuannya diawali dari studi filsafat dan dialektika. Setelah menguasai
bidang ini, beliau mendalami fiqh dan hadits. Guru utamanya adalah Imam Hammad bin
Zaid. Karena kedalaman ilmunya dan kemuliaan karakter pribadinya, para khalifah
Bani Umayyah sangat menghormati. Imam Abu Hanifah digolongkan sabagai tabiin
kecil.
Dasar Hukum Madzhab
Hanafi adalah :
a.
Al-Qur’anul Karim
b.
Sunnah Rosul
c.
Fatwa sahabat
d.
Qiyas
e.
Istihsan
f.
Adat / ‘Urf masyarakat
2. Madzhab
Maliki
Madzhab ini dibangun oleh Maliki
bin Annas. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H. Imam Malik belajar qira’ah
kepada Nafi’ bin Abi Ha’im. Ia belajar hadits kepada ulama Madinah
seperti Ibn Syihab al-Zuhri. Karyanya yang terkenal adalah kitab al-Muwatta’,
sebuah kitab hadits bergaya fiqh. Inilah kitab tertua hadits dan fiqh tertua
yang masih kita jumpai. Selain itu, beliau juga menyusun kitab al Mudawwamah
yang berisi asas-asas fiqh. Beliau mulai mengumpulkan hadits-hadits yang
kemudian dimuat dalam kitab ini atas permintaan Khalifah Abbasiyah. Abu Ja’far
al Mansyur yang menginginkan sebuah kitab undang-undang hukum yang komprehensif
dengan berdasarkan sunnah Nabi saw.
Dasar Hukum Madzhab
Maliki adalah :
a.
Al-qur’an
b.
Sunnah
c.
Ijma’ ahli madinah
d.
Qiyas
e.
Istishab / al-Mashalih
al-Mursalah
3. Madzhab
Syafi’i
Madzhab ini didirikan oleh Imam
Muhammad bin Idris al-Abbas. Madzhab fiqih as-Syafi’i merupakan perpaduan
antara madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Ia terdiri dari dua pendapat, yaitu
qaul qadim (pendapat lama) di irak dan qaul jadid di mesir. Madzhab Syafi’i
terkenal sebagai madzhab yang paling hati-hati dalam menentukan hukum, karena
kehati-hatian tersebut pendapatnya kurang terasa tegas.
Syafi’i pernah belajar Ilmu Fiqh
beserta kaidah-kaidah hukumnya di masjid al-Haram dari dua orang
mufti besar, yaitu Muslim bin Khalid dan Sufyan bin Umayyah sampai matang dalam
ilmu fiqih. Al-Syafi’i mulai melakukan kajian hukum dan mengeluarkan
fatwa-fatwa fiqih bahkan menyusun metodelogi kajian hukum yang cenderung
memperkuat posisi tradisional serta mengkritik rasional. Dalam
konteks fiqihnya Syafi’i mengemukakan pemikiran bahwa hukum Islam bersumber
pada al-Qur’an dan al-Sunnah serta Ijma’ dan apabila ketiganya belum memaparkan
ketentuan hukum yang jelas, beliau mempelajari perkataan-perkataan sahabat dan
baru yang terakhir melakukan qiyas dan istishab.
Dasar
Hukum Madzhab Syafi’i:
a. Al Quran
b. As Sunnah
c. Ijma’
d. Qiyas
e. Istishab
4. Madzhab Hanbali
Pendiri
madzhab ini adalah Imam Ahmad bin Hanbal As-Syaibani. Beliau lahir di Baghdad
pada 778M dari keluarga Arab asli. Nasabnya telah meninggal ketika dia masih
kecil. Ia kemudian diasuh oleh ibunya.
Ahmad bin
Hanbal telah hafal Al Quran pada usia yang masih muda. Beliau tersebut salah
satu diantara ulama terkenal kuat daya hafalnya dan seorang perawi terkemuka
pada masanya. Imam Hanbali belajar hadits dan fiqh kepada Imam Abu Yusuf, murid
Abu Hanifah, dan kepada Imam Syafi’i.
Perjalanan
hidupnya yang penuh dengan dinamika sosial politik membuat beliau harus
mengalami serangkaian tragedi. Keteguhannya memegang prinsip dan keyakinan
keagamaan menjadikan beliau harus mengalami serangkaian hukuman dan
penganiayaan dari para khalifah yang menganut teologi mu’tazilah. Ia dipenjara
dan dianiaya selama dua tahun atas perintah Khalifah Al-Ma’mun, karena menolak
konsep filosofis mu’tazilah bahwa Al Quran adalah makhluk. Sesudah dibebaskan,
Imam Hanbali melanjutkan kegiatannya mengajar
di Baghdad sampai al-Watiq menjadi Khalifah dan memperbaharui hukumnya. Pada
masa itu, Imam Hanbali pergi bersembunyi demi keselamatan hidpnya. Beliau baru
keluar dari persembunyiannya setelah Khalifah Al Mutawakil menolak Mu’tazilah
sebagai ideologi Negara. Imam Hanbal kembali mengajar di Baghdad sampai
wafatnya pada tahun 855 M.
Dasar Hukum
Madzab Hanbali:
a. Al Quran
b. Sunnah
c. Ijma’ Sahabat
d. Yang dekat dengan Al Quran dan Sunnah jika terjadi
perbedaan pendapat
e. Hadits-hadits mursal dan dhaif
f. Istihsan
g. Sadd al dara’i
h. Istihsab
i. Maslahah Mursalah
D.
HIKMAH
MEMPELAJARI PERBANDINGAN MADZHAB
Beberapa tujuan dan manfaat
mempelajari perbandingan mazhab antara lain adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui
pendapat-pendapat para imam mazhab (para imam mujtahid) dalam berbagai masalah
yang diperselisihkan hukumnya disertai dalil-dalil atau alasan-alasan yang
dijadikan dasar bagi setiap pendapat dan cara-cara istinbath hukum dari
dalilnya oleh mereka. Dengan mempelajari dalil-dalil yang digunakan oleh para
imam mazhab tersebut dalam menetapkan hukum, orang yang melakukan studi
perbandingan mazhab akan mendapatkan keuntungan ilmu pengetahuan secara sadar
dan meyakinkan akan ajaran agamanya, dan akan memperoleh hujjah yang jelas
dalam melaksanakan ajaran agamanya, sehingga ia tergolong kedalam kelompok
orang yang disebut dalam al-Quran surat yusuf ayat108 sebagai berikut: artinya
“inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu)
kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha suci Allah dan aku tidak termasuk
orang-orang yang musyrik.” (Q.S Yusuf: 108).
2.
Untuk mengetahui dasar-dasar dan
qaidah-qaidah yang digunakan setiap imam mazhab (imam mujtahid) dalam
mengistinbath hukum dari dalil-dalilnya, dimana setiap imam mujtahid tersebut
tidak menyimpang dan tidak keluar dari dalil-dalil al-Quran atau as-Sunnah.
Sebagai hasil dari cara ini, orang yang melakukan studi tersebut, akan menjadi
orang yang benar-benar menghormati semua imam mazhab tanpa membedakan satu
dengan lainnya, karena pandangan dan dalil yang dikemukakan masing-masing pada
hakikatnya tidak terlepas dari aturan-aturan ijtihad. Maka sepantasnyalah orang
yang mengikuti (bertaklid) kepada salah satu imam mazhab itu
mengikuti pula jejak dan petunjuk imamnya dalam menghormati imam lain.
3.
Dengan memperhatikan landasan
berpikir para imam mazhab, orang yang melakukan studi perbandingan mazhab dapat
mengetahui, bahwa dasar-dasar mereka pada hakikatnya tidak keluar dari nushush
al-Quran dan sunnah dengan perbedaan interpretasi, atau mereka mengambil qiyas,
maslahah mursalah, istishab, atau prinsip-prinsip umum dalam nash-nash syari’at
islam dalam menyelesaikan persoalan yang ada dalam masyarakat, baik ibadah
maupun mu’amalah, yang dalil-dalil ijtihad itupun digali dari nash-nash
al-Quran dan sunnah rasul.dengan demikian orang yang melakukan studi
perbandingan mazhab tersebut akan memahami, bahwa perbuatan dan amalan
sehari-hari dari pengikut mazhab lain itu, bukan diatur oleh hukum di luar
islam, karena itu mereka tidak mengkafirkannya. Disamping itu, mereka akan
mengetahui bahwa tidak benar-benar bahwa anggapan sebagian orang yang mengatakan,
bahwa apa yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih itu, seluruhnya hanya
berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah. Timbulnya anggapan semacam ini adalah
akibat kurangnya pengetahuan dan penghayatan terhadap prinsip-prinsip syariat
islam.padahal, sebenarnya diantara isi kitab-kitab fiqih itu ada yang sudah
tidak relevan dengan kondisi dimana kita hidup dewasa ini. Selain itu, jika
diperhatikan dan dipelajari secara teliti dan mendalam, akan didapatkan suatu
pengertian dan pengetahuan, bahwa kebanyakan isi kitab fiqih itu adalah masalah
ijtihadyah sebagai hasil pemahaman ulama terhadap nash-nash al-Quran dan
sunnah.
ANALISIS DAN SIMPULAN
Adanya perbandingan Madzab bukan untuk menjadi
perdebatan di kalangan umat Islam. Para imam madzhab memiliki pemikiran yang
berbeda-beda dikarenakan suatu keadaan yang berbeda diantara mereka. Baik pada
masa yang berbeda, tempat yang berbeda, serta kondisi sosial masyarakat yang
berbeda pula. Seperti Imam Hanafi yang hidup pada masa Dinasti Umayyah
sedangkan Imam Hanbali pada masa Dinasti Abbasiyah. Adapula yang menetapkan
dasar hukum dengan Sunnah yang mempunyai persyaratan tertentu dikarenakan
kondisi pada itu yang banyak bermuncullan hadits-hadits palsu. Sehingga beliau
harus berhati-hati dalam mengambil sebuah hadits yang akan dijadikan dasar
hukum pengambilan keputusan. Tapi pada intinya, semua mereka lakukan untuk
kemaslahatan umat Islam. Disini dapat kita lihat perbandingan dasar hukum yang
diambil oleh para Imam Madzhab dalam menetapkan suatu hukum atau memecahkan suatu
masalah.
A. Dasar Hukum Madzhab Hanafi
1) Al-Qur’anul
Karim. Al Quran merupakan sumber hukum utama yang tidak
perlu diperdebatkan lagi.
2) Sunnah
Rosul, sebagai sumber hukum setelah Al Quran, tetapi
dengan beberapa kualifikasi dalam penggunaannya. Mereka mensyaratkan bahwa
hadits yang menjadi dasar hukum yang sah
bukan hanya harus shahih, tetapi juga harus masyur. Kualifikasi ini berfungsi
sebagai benteng terhadap hadits-hadits palsu yang sering muncul di wilayah
mereka. Menurut Farouq Abu Zaid, ada beberapa faktor yang menyebabkan Abu
Hanifah memberikan persyaratan ketat terhadap hadits. Pertama, Imam
Hanafi adalah keturunan Persia dan bukan keturunan Arab. Kedua, tempat tinggal beliau (Irak) merupakan daerah
yang jauh dari pusat informasi hadits Nabi Saw, sehingga dalam menghadapi
problema yang timbul terpaksa menggunakan akalnya. Ketiga, beliu tidak
hanya mendalami ilmu-ilmu agama, tetapi juga
pedagang yang mengembara ke berbagai daerah.
3) Ijma’ sahabat. Sumber hukum Islam
terpenting yang ketiga adalah pendapat para sahabat mengenai beberapa materi
hukum yang tidak disebutkan di dalam Al Quran dan As Sunnah.
4) Qiyas. Imam
Abu Hanifah merasa tidak harus menerima
rumusan hukum dari murid-murid para sahabat yang tidak memiliki bukti
jelas dari sumber-sumbernya.
5) Istihsan
yaitu satu bukti yang lebih disukai daripada bukti lainnya karena ia tampak lebih sesuai dengan situasinya.
6) Adat/ ‘Urf
masyarakat, diberi bobot hukum dalam wilayah dimana tidak terdapat tradisi Islam
yang mengikat.
B. Dasar Hukum Madzhab
Maliki
1)
Al-qur’an. Sebagaimana
imam yang lain, Imam Malik menempatkan Al Quran sebagai landasan dan sumber
utama.
2)
Sunnah. Walaupun sama-sama
menggunakan sunnah sebagaimana para imam lainnya, tetapi imam Malik memiliki
konsepsi sendiri. menurut beliau, jika sebuah hadits bertentangan dengan
tradisi masyarakat Madinah, ia menolaknya.
3)
Ijma’ ahli Madinah. Imam Malik
berpandangan bahwa karena sebagian besar masyarakat Madinah merupakan keturunan
langsung Sahabat dan Madinah sendiri menjadi tempat Rasulllah saw menghabiskan sepuluh
tahun terakhir hidupnya, maka praktek yang dilakukan semua masyarakat Madinah
merupakan bentuk sunnah yang sangat otentik yang diriwayatkan dalam bentuk
tindakan, bukan kata-kata.
4)
Ijma’ Sahabat. Sebagaimana
Imam Hanafi, ijma’ sahabat, dan ijma’ pada ulama berikutnya merupakan sumber
hukum ketiga.
5)
Pendapat individu sahabat. Imam Malik memberi bobot
penuh terhadap pendapat-pendapat sahabat, baik yang bertentangan maupun yang
menjadi kesepakatan.
6)
Qiyas. Imam
Malik pernah menerapkan penalaran pada persoalan-persoalan yang tidak tercakup
oleh sumber-sumber yang telah disebutkan sebelumnya.
7)
Istislah. Secara sederhana
bermakna mencari sesuatu yang lebih sesuai (maslahat). Istislah berkaitan dengan hal-hal yang bertujuan untuk
kemaslahatan manusia, tetapi tidak disebutkan oleh syariah secara khusus.
8)
‘Urf
C. Dasar Hukum
Madzab Syafi’i
1)
Al Quran. Tidak berbeda
dengan para imam madzab lainnya, As Syafi’i memposisikan Al Quran sebagai
landasan hukum Islam yang pertama.
2)
Sunnah. Beliau memiliki
kualifikasi yang berbeda dimana hanya bersandar kepada satu syarat dalam
menerima sebuah hadits, yaitu hadits tersebut haruslah shahih.
3)
Ijma’. Meskipun Imam
Syafi’I memiliki keragu-raguan yang serius mengenai kemungkinan ijma’ dalam
sejumlah kasus, beliau mengakui bahwa dalam beberapa kasus di mana ijma’ tidak terelakkan.
4)
Qiyas. Dalam pandangan Imam
Syafi’i, qiyas merupakan metode yang sah dalam merumuskan hukum lebih lanjut
dari sumber-sumber sebelumnya.
5)
Istishab. Imam Syafi’I
menolak prinsip istihsan yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Malik.
Dalam pandangannya istihsan merupakan bentuk bid’ah karena lebih menempatkan
penalaran manusia terhadap wilayah yang
sesungguhnya telah tersedia nashnya. Meskipun demikian, ketika menghadapi
persoalan-persoalan serupa, para pengikut Syafi’i diwajibkan menggunakan sebuah
prinsip yang mirip dengan istihsan dan istishlah yang dinamakannya istishab
yang merujuk kepada proses perumusan hukum hukum fiqh dengan mengaitkan
serangkaian keadaan-keadaan berikutnya dengan keadaan-keadaan sebelumnya.
D. Dasar Hukum
Madzhab Hanbali
1) Al Quran. Tidak ada perbedaan antara Imam Hambali
dengan ulama lainnya dalam memandang dan memposisikan Al Quran sebagai sumber
hukum yang pertama.
2) Sunnah. Dengan syarat bahwa sunnah atau hadits yang
digunakan harus marfu’.
3) Ijma’ Sahabat. Imam Hambali mengakui ijma’ para
sahabat, namun beliau mengesampingkan ijma’ di luar era para sahabat.
4) Apabila terjadi perbedaan pendapat, beliau memilih
yang paling dekat dengan Al Quran dan Sunnah.
5) Hadits-hadits mursal dan dhaif
6) Istihsan
7) Sadd al dara’i
8) Istihsab
9) Maslahah Mursalah
Demikian
perbedaan dasar hukum yang digunakan oleh para imam madzhab. Walaupun ada
banyak perbedaan pada macam-macam dasarnya, namun posisi tertinggi tetaplah Al
Quran, kemudian As Sunnah. Itu menunjukkan bahwa para imam madzab tidaklah
sembarangan dalam mengambil dasar hukum dan menetapkan hukum suatu hal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar