HUKUM HADIAH DAN GRATIFIKASI
A. Pengertian Hadiah Pegawai (Gratifikasi )
Hadiah
Pegawai atau sering disebut dengan Gartifikasi adalah uang hadiah yang
diberikan pada pegawai di luar gaji yang yang telah ditentukan. Di dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Penjelasan Pasal 12 B
ayat (1) gratifikasi adalah, pemberian dalam arti luas, yakni meliputi
pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan,
fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya.
B.
Hukum Hadiah Pegawai (Gratifikasi )
Hadiah
Pegawai (gratifikasi ) hukumnya haram berdasarkan hadist Abu Humaid as-Sa’idi
di bawah ini :
عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي قَالَ فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا
Dari Abu Humaid as-Sa'idi radhiyallahu 'anhu berkata: "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memperkerjakan seorang laki-laki dari suku al-Azdi yang bernama Ibnu Lutbiah sebagai pemungut zakat. Ketika datang dari tugasnya, dia berkata: "Ini untuk kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan untukku". Beliau bersabda : " Cobalah dia duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, dan menunggu apakah akan ada yang memberikan kepadanya hadiah ? Dan demi Dzat yag jiwaku di tangan-Nya, tidak seorangpun yang mengambil sesuatu dari zakat ini, kecuali dia akan datang pada hari qiyamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik". Kemudian beliau mengangkat tangan-nya, sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan (berkata,): "Ya Allah bukan kah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan", sebanyak tiga kali. “
Berkata Ibnu Abdul
Barr: “ Hadist di atas menunjukkan bahwa uang yang diambilnya tersebut
adalah ghulul ( barang curian dari harta rampasan perang ) dan hukumnya haram,
sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala :
وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu “
Di
dalam kitab Syarhu as-Sunnah, Imam al-Baghawi menjelaskan bahwa hadist Abu
Humaid as-Sa’idi di atas menunjukkan bahwa hadiah pegawai, pejabat, dan para
hakim adalah haram. Hal itu karena pemberian kepada pegawai (zakat ) tersebut,
dimaksudkan agar dia tidak terlalu mempermasalahkan hal-hal yang mestinya
menjadi kewajiban sang pemberi, dan bertujuan untuk mengurangi hak-hak
orang-orang miskin. Adapun yang diberikan kepada para hakim, agar dia
cenderungan kepadanya ketika dalam persidangan.
Yang
termasuk dalam larangan hadist di atas :
1. Seorang pegawai perusahaan telekomunikasi yang bertugas
memperbaiki saluran atau kabel telpun yang terputus atau mengalami gangguan.
Dia tidak boleh menerima atau meminta upah tambahan dari kerjanya dari para
pelanggan, karena sudah mendapatkan gaji bulanan dari perusahaannya. Jika ia menghambil
atau meminta upah lagi hal itu bisa merusak kerjanya, karena dia akan cenderung
untuk mendahulukan para pelanggan yang memberikan kepadanya uang lebih, dan
membiarkan pelanggan yang memberikan kepadanya uang sedikit atau yang tidak
memberikannya sama sekali
2. Seorang pegawai Departemen Agama yang ditugaskan untuk mengurusi
penyewaan tempat tinggal atau asrama jama’ah haji selama di Makka dan Madinah.
Dia tidak boleh menyewa tempat tinggal yang lebih murah, dengan tujuan akan
mendapatkan uang discount dari penyewaan tersebut yang akan masuk ke
kantong pribadinya, karena hal ini akan merugikan jama’ah haji secara umum.
Akibat ulah petugas tadi, jama’ah haji tersebut terpaksa tinggal di
apartemen-apartemen yang tidak standar dan jauh dari Masjidil Haram.
3. Seorang pengurus masjid yang ditugaskan untuk membeli kambing
kurban dalam jumlah yang banyak pada hari Raya Idul Adha, dia tidak boleh
mengambil uang discount dari pembelian tersebut, kecuali harus melaporkan
kepada pengurus secara transparan.
4. Seorang petugas Lembaga Zakat ketika mengambil zakat dari
masyarakat atau anggota, tidak boleh mengambil uang tambahan dari pembayar
zakat, karena dia sudah dapat gaji dari lembaga tersebut, kecuali dia
melaporkankan kepada lembaga tersebut bahwa dia diberi uang tambahan, apakah
tambahan itu akan diambil lembaga untuk kepentingan umat atau diberikan kepada
petugas tersebut sebagai tambahan gaji, maka yang menentukan adalah aturan
dalam lembaga tersebut.
5. Seorang pengurus sebuah arisan yang sudah mendapatkan gaji tetap
dari peserta arisan, ketika membelikan sepeda motor untuk salah satu peserta
yang mendapatkan undian, maka dia tidak boleh mengambil discount dari pembelian
tersebut, dan harus dilaporkan kepada seluruh peserta.
6. Seorang hakim tidak boleh menerima hadiah dari orang yang
masalahnya sedang dia tangani, karena hal itu akan mempengaruhi di dalam
keputusan hukum.
7. Seorang petugas pajak, tidak boleh menerima hadiah dari para
pembayar pajak, karena hal itu akan menyebabkannya tidak disiplin di dalam
menjalankan tugasnya, dan tidak terlalu ketat di dalam menghitung kewajiban
pembayar, karena sudah mendapatkan hadiah darinya.
Diriwayatkan
bahwa Rasulullah shallahu ‘alai wassalam mengirim Muadz bin Jabal ke Yaman,
kemudian pada pemerintahaan Abu Bakar , beliau mengirim Umar pada musim haji ke
Mekkah. Ketika sedang di Arafah Umar bertemu dengan Muadz bin Jabal yang datang
dari Yaman membawa budak-budak.
Umar
bertanya kepadanya: “Itu budak-budak milik siapa ? “ Muadz menjawab : “
Sebagian milik Abu Bakar dan sebagian lagi milikku “. Umar berkata : “
Sebaiknya kamu serahkan semua budak itu kepada Abu Bakar, setelah itu jika
beliau memberikan kepadamu, maka itu hakmu, tetapi jika beliau mengambilnya
semuanya, maka itu adalah hak beliau ( sebagai pemimpin ).” Muadz berkata : “
Kenapa saya hartus menyerahkan semuanya kepada Abu Bakar, saya tidak akan
memberikan hadiah yang diberikan kepadaku.“
Kemudian
Muadz pergi ke tempat tinggalnya. Pada pagi hari Muadz ketemu lagi dengan Umar
dan mengatakan: "Wahai Umar tadi malam aku bermimpi mau masuk neraka,
tiba-tiba kamu datang untuk menyelematkan diriku, makanya sekarang saya taat
kepadamu. “ Kemudian Muadz pergi ke Abu Bakar dan berkata : “ Sebagian budak
adalah milikmu dan sebagian lain adalah hadiah untukku, tapi saya serahkan kepadamu
semuanya.” Kemudian Abu Bakar mengatakan : “ Adapun budak-budak yang
dihadiahkan kepadamu, saya kembalikan kepadamu.” Atsar di atas
menunjukan bahwa jika seorang pegawai di dalam menjalankan tugasnya mendapatkan
hadiah, hendaknya dilaporkan secara transparan kepada lembaga yang mengirimnya.
Kemudian apakah lembaga tersebut akan mengijinkannya untuk mengambil hadiah itu
atau memintanya untuk kepentingan lembaga, maka ini diserahkan kepada aturan
dalam lembaga tersebut.
C. Dampak Negatif
Hadiah pegawai
(gratifikasi ) ini akan merusak tatanan negara secara keseluruhan dan akan
mengganggu kerja pegawai, serta mencabut rasa amanah dari diri mereka. Dampak
negatif tersebut bisa dirinci sebagai berikut :
1. Sang pegawai akan lebih cenderung dan lebih senang untuk
melayani orang yang memberikan kepadanya hadiah. Sebaliknya dia malas untuk
melayani orang-orang yang tidak memberikan kepadanya hadiah, padahal semua
konsumen mempunyai hak yang sama, yaitu mendapatkan pelayanan dari pegawai
tersebut secara adil dan proposional, karena pegawai tersebut sudah mendapatkan
gaji secara rutin dari perusahaan yang mengirimnya.
2. Sang pegawai ketika mendapatkan hadiah dari salah seorang
konsumen, mengakibatkan dia bekerja tidak profesional lagi. Dia merasa tidak
mewakili perusahaan yang mengirimnya, tetapi merasa bahwa dia bekerja untuk
dirinya sendiri.
3. Si pegawai ketika bekerja selalu dalam keadaan mengharap-harap
hadiah dari konsumen. Hal ini merupakan kebiasaan buruk yang harus dihilangkan,
karena Islam mengajarkan umatnya untuk selalu menjaga harga diri dan menjauhi
dari mengharap apa yang ada di tangan orang lain.
Islam
juga mengharamkan umatnya untuk meminta-minta kecuali dalam keadaan darurat.
Pegawai yang meminta hadiah dari konsumen yang sebenarnya bukan haknya termasuk
dalam katogori meminta-minta yang dilarang dalam Islam.
Sebagian
ulama membolehkan untuk memberikan hadiah atau uang tambahan kepada pegawai
bawahan yang miskin dan keadaannya sangat memprihatinkan, jika hal itu tidak
mempengaruhi kerjanya dan tidak berdampak kepada instansi atau lembaga yang
mengutusnya, umpamanya dengan memberikan kepadanya sesuatu setelah selesai
bekerja dan dia tidak lagi membutuhkan pegawai tersebut.
Maka,
sebaiknya dipisahkan antara pemberian hadiah karena pekerjaan dengan pemberian
hadiah karena faktor lain, seperti ingin membantunya karena dia miskin atau
karena dia sedang sakit dan membutuhkan uang. Walaupun demikian, sebaiknya jika
seseorang ingin membantunya hendaknya memberikannya di waktu lain dan pada
kesempatan yang berbeda, supaya menjadia lebih jelas bahwa dia memberikan
hadiah itu semata-mata faktor kemanusiaan, bukan karena pekerjaannya. Itupun
sebaiknya dihindari sebisa mungkin dan janganlah menjadi sebuah kebiasaan, demi
menjaga diri kita dari sesuatu yang diharamkan dalam Islam. Wallahu A’lam.
oleh: Dr.
Ahmad Zain An Najah